Cara Mengolah Eceng Gondok sebagai Bahan Kerajinan dan Kisah Inspiratif Pelaku Usahanya

Saat ini Karimun, khususnya di danau depan RSUD M Sani tertutupi eceng gondong. Bukan hanya mengganggu pemandangan, eceng gondok di danau tersebut juga sudah mengganggu ekosistem di dalamnya.

 Beberapa warga Karimun yang kreatif ada yang membuat eceng gondok tersebut sebagai bahan baku kerajinan. Beberapa produk dihasilkan dari bahan baku eceng gondok tersebut.

Sebenarnya anek kerajinan dari bahan baku eceng gondok bisa dilakukan. Hanya saja banyak yang tidak mengetahui cara mengolah eceng gondok tersebut menjadi bahan bakunya.

Lalu bagaimana cara pengolahan awal eceng gondok sebelum diolah menjadi kerajinan?

Seiring berjalannya waktu, manusia terus melakukan terobosan baru. Mereka ingin membuat kerajinan yang layak. Selama kerajinan tersebut memiliki kualitas yang baik, maka akan laku di kalangan masyarakat. Eceng Gondok menjadi salah satu bahan baku alami yang bisa kalian manfaatkan untuk menjadi kerajinan.

Apa itu eceng gondok?

Eceng Gondok adalah tanaman yang tumbuh di air seperti rawa, danau, waduk, sungai, atau lainnya yang memiliki aliran tenang. Penyebaran tumbuhan Eceng Gondok sangat cepat, tanaman yang satu ini merupakan salah satu tumbuhan gulma yang dapat merusak lingkungan pertanian.

Eceng Gondok memiliki banyak manfaat yaitu menyerap pulutam logam seperti tembaga dan timbal dari limbah industri. Tumbuhan Eceng Gondok juga dapat menyerap merkuri dan timbal yang terkandung di dalam air. Tanaman yang satu ini dapat menaungi air kolam dan menyediakan tempat bagi ikan untuk kaur dari panas sinar matahari.

Selain itu, Eceng Gondok ternyata memiliki manfaat lain yang belum banyak mengetahuinya. Eceng Gondok bisa kalian gunakan sebagai bahan kerajinan. Banyak dari mereka yang sudah memanfaatkannya dan terbukti mampu memberikan hasil yang berkualitas. Dengan memanfaatkannya sebagai bahan baku kerajinan, ekosistem rawa akan terlindungi.

Cara Pengolahan Awal Eceng Gondok untuk Kerajinan

Bagi yang ingin menggunakan Eceng Gondok untuk kerajinan, kalian harus menyiapkan perlengkapan dan bahan baku Eceng Gondok yang sudah kering. Kalian bisa mendapatkannya di danau atau tempat berair yang tenang untuk memperoleh banyak tumbuhan tersebut. Cara menggunakannya yaitu cukup memotong bagian batang di bagian bawah kemudian buang daunnya.

Eceng gondok yang efektif untuk pembuatan anyaman yaitu memiliki tinggi minimal 30 cm dan berukuran besar, serta sudah tua. Perlengkapan yang perlu kalian persiapkan seperti kayu, papan, gergaji, martil, paku, bahan kain, penjepit, gunting, kuas, lem, mesin jahit, hingga pernis.

Menjemur Eceng Gondok

Jemur batang Eceng Gondok di bawah terik matahari langsung. Bagian bawah sebaiknya di alasi dengan plastik supaya mudah saat mengumpulkannya. Biasanya penjemuran memerlukan waktu sekitar satu minggu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan begitu, batang eceng gondok benar-benar kering dan budah untuk kalian buat kerajinan.

Supaya kering merata, jangan lupa di balik posisinya. Hindari batang Eceng Gondok yang terkena air ataupun hujan. Tujuannya adalah agar batang Eceng Gondok kering dan tidak menjamur. Setelah kering, kumpulkan kembali dan siap digunakan untuk kerajinan.

Siapkan Model

Ada banyak sekali model yang bisa kalian pilih untuk membuat kerajinan. Siakan juga ukuran yang tepat dengan cara membuat cetakan sesuai keinginan. Kalian bisa membuat cetakan tersebut dengan papan kayu dan membentuknya sesuai keinginan.

Anyam eceng Gondok

cara pengolahan awal Eceng Gondok untuk kerajinan

Tahap terakhir adalah proses penganyaman. Pipihkan batang Eceng Gondok menggunakan alat penjepit dari bambu dan potong bagian ujungnya supaya rapi. Batang tersebut bisa kalian buat menjadi produk anyaman atau tali tambang sesuai keinginan.

Bila anyaman sudah setengah jadi, maka lem supaya lebih lekat daya anyaman dan tidak mudah bergeser. Lepaskan anyaman dari cetakan dan anyam menutupi seluruh bagian cetakan. Cat menggunakan pernis berwarna transapran untuk menghasilkan warna yang keren. Jemur kurang lebih selama 15 menit dan tambahkan aksesoris untuk mempercantik anyaman.

Tingkatkan Kesehjateraan Masyarakat Lewat Eceng Gondok

Usaha kerajinan eceng gondok untuk kesehjateraan masyarakat sudah banyak dilakukan warga di luar Kepri, seperti di Bandung Barat, dan daerah di Pulau Jawa lainnya.

Sekarang ini bisnisnya telah berkembang pesat dan mendapatkan omset lumayan untuk setiap tahunnya. Seperti Slamet Triamanto (42) merintis karir dagangnya dengan perjuangan usaha yang tidak mudah.

“Sangat betul saya dari keluarga tidak mampu,” ungkapnya.

Lika-liku perjalanan hidup menjadikan Slamet sebagai pribadi yang tegar dan pantang menyerah. Pekerjaan apa saja tanpa memilih-milih ditempuhnya. Hal ini ia lakukan untuk bertahan hidup. Peluang menjadi supir bus, pemulung, tukang asongan, kernet hingga buruh pabrik, diambilnya guna mencukupi kebutuhan.

 “Bahkan saya pernah tinggal di kandang kambing sama anak dan istri saya ketika saya mulai berwirausaha,” tuturnya seperti dikutip dari recreartive.com.

Perjalanan berliku yang layak dijadikan cerminan bagi mereka yang tengah berjuang meraih impian. Perkara tetesan air setitik bisa menjadi segalanya dan pria kelahiran 15 September 1974 membuktikan pendapat yang ada melalui serangkaian produksi menakjubkan dari bahan yang pertama kali ditemukan oleh ahli botani berkebangsan Jerman pada tahun 1824.

Tampak perjalanan ceritanya hampir sama. Dimana Carl Friedrick Philipp von Martius menemukannya di Sungai Amazon, Brazil. Nah!, Pak Slamet juga mengawali langkahnya dari kegiatan yang berhubungan dengan sungai dan ikan.

Tahun 1988, tepatnya ketika Slamet pertama kali datang ke Jakarta. Kira-kira waktu selama 16 tahun merupakan masa yang cukup untuk menghimpun pengetahuan dan pengalaman. Setelah didorong oleh kebutuhan hidup dan tanggung jawab, “Karena sudah memiliki anak, saya pikir pekerjaan memulung hanya untuk memenuhi perut saja, sedangkan tabungan dan uang pendidikan anak tidak jelas,” jelasnya dikutip dari Harian Kontan.

Ia akhirnya memutuskan untuk pulang kampung di bulan Agustus 2003. Pekerjaan sebagai supir bus di kota Semarang pun ditampiknya, karena uang yang dimiliki tinggal sedikit.

Alasannya uang sebanyak itu bisa habis dalam waktu dua hari. “Jadi, saya harus berutang untuk memenuhi kebutuhan. Dan, siklusnya pasti akan begitu terus. Kepala pening benar-benar menggelayuti pemikirannya saat itu. Sesampainya di kampung, ia langsung mengeluarkan keluh kesahnya dengan melakukan kegiatan memancing,” ungkapnya.

Menyusuri rawa di desanya yang mulai dipenuhi oleh tanaman Eceng Gondok bersama sekumpulan alat kail dan perahu. Saat sedang mengisi waktu, Pak Slamet Triamanto sempat tertarik akan kegiatan seorang petani yang sedang membersihkan eceng gondok di sebuah lahan.

Lantas ia menanyakan tentang kegunaan eceng gondok yang dikumpulkan dalam jumlah banyak itu. “Ternyata eceng gondok itu akan dikirim ke Yogyakarta untuk dibuat mebel seperti meja kursi dan almari,” ujarnya.

Serat eceng gondok memang banyak digunakan dalam industri-industri mebel dan kerajinan rumah tangga (UKM). Selain mudah didapat, sumberdaya ini memiliki harga yang murah, tidak membahayakan kesehatan, dan dapat mengurangi masalah biodegradability (polusi lingkungan). Sehingga nantinya dengan pemanfaatan sebagai serat penguat komposit, eceng gondok akan mampu mengatasi permasalahan lingkungan karena fungsi dan daya gunanya.

Ada Bantuan Pendidikan dan Pelatihan dari Pemerintah

Gagasan yang sangat brilian rupanya. Dan masalahnya sekarang adalah Pak Slamet sama sekali tidak memiliki keahlian dalam bidang seni.

“Saat itu saya kebingungan. Saya tidak mempunyai darah seni dan tidak punya uang. Tapi saya tidak patah semangat dan terus mencoba untuk membuat kerajinan dari eceng gondok,” ungkapnya.

Bermodalkan semangat untuk belajar dan keinginan untuk menjadi lebih baik, ia mencoba berkarya. Digunakanlah uang sebesar Rp. 60 ribu untuk membeli sejumlah peralatan seperti penggaris besi, gunting, lem, dan cutter. Hari demi hari dijalani melalui berbagai rangkaian ujicoba.

Produksi pertamanya hanya berupa miniatur sepeda dan memerlukan waktu 2 minggu untuk penyelesaiannya. Setelah jadi dan tahu caranya, kemudian ia mencoba membuat miniatur mobil oplet dan becak. Dalam 6 bulan pertama, ia telah berhasil memproduksi 12 buah becak, 20 sepeda ontel, dan 15 mobil oplet.  

Terlihat sudah prospeknya, kenapa tidak diteruskan? Kemudian ia mencoba memasarkan karyanya di sekitar pinggir jalan alternatif di daerah Ambarawa, Salatiga. Pernah juga ia menjual produknya dengan cara menitipkan barang pada toko kelontong bibinya yang berada di Dusun Kebondowo yang menjadi jalur wisata menuju Bukit Cinta, Rawapening. Soal penentuan harga, kembali ia kebingungan.

“Akhirnya, satu miniatur sepeda dihargai Rp25 ribu,” kenangnya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, ia mencoba mencari jalur yang lebih baik dengan mengikuti perlombaan kerajinan untuk tingkat Kabupaten.

Persiapan dari berbagai segi pun segera ia jemput melalui serangkaian ide yang kemudian ditaruh pada sebuah badan usaha bernama Syarina Production. Sebuah lembaga usaha yang terbentuk pada tanggal 15 september 2004.

“Tapi aktivitas pertama pada tanggal 6 agustus 2004 (sebulan baru terbentuk syarina production) adapun arti sebetulnya itu diambil dari nama saya, istri dan anak,” jelasnya

“Ketika itu saya yakin cuma itu yh mrnjadi kekuatan saya untuk memulai usaha.sedangkan production karena saya mau berproduksi. Terus terang modal semangat dan suport istri serta ingin membahagiakan anaklah sebagai modal dan kekuatan saya, karena hanya itu harta yang saya miliki,” paparnya

Setelah semua mantap, ia kemudian menambah kemampuan skill dan keterampilan yang dimiliki. Kebetulan jadwal pelatihan tersebut diselenggarakan oleh Japan Internasional Cooperation Agency, bernama Training Programme on Production Process of Eceng Gondok pada 5 – 24 Desember 2004 di Yogyakarta dan memperoleh penghargaan sebagai peserta terbaik untuk urutan ke II.

Khusus akan pengetahuan dalam bidang ekspor, ia mengikuti Pelatihan di tahun 2007 yang diadakan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk Provinsi Jawa Tengah.

Jalan hidupnya langsung berubah setelah Lelaki asal RT 4, RW 9, Desa Kebun Dowo, Banyubiru, Semarang, meraih sejumlah penghargaan dari perlombaan yang diikuti.

Jaringan dan kolega pun semakin meluas. Keunikan corak karya yang dimiliki rupanya mendapatkan sambutan hangat dari relasi bisnis. “Saya pernah diajak berpameran sampai tiga kali di Dubai pada 2008, 2009, dan 2010. Selain itu, saya juga ikut pameran di Singapura pada 2011,” ungkap Pak Slamet.

Bahkan pada bulan berikutnya atau awal tahun 2012, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Semarang memfasilitasi sebuah peluang bisnis baru untuknya guna mengikuti pameran besar PRPP (Pusat Rekreasi Promosi dan Pembangunan) di Semarang dan Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Hasil keuntungan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh dirinya semata. Ketekunan yang telah dimiliki senantiasa menghasilkan 500 kerajinan tangan yang berasal dari bahan baku enceng gondok kering sebanyak 100 Kilogram per bulan. Kira-kira satu kilogram eceng gondok kering seharga Rp 3.000 per Kilogram didapatkan dari 10 kg eceng gondok basah.

Untuk masa waktu sekitar satu bulan, usahanya biasa memanfaatkan 1 ton eceng gondok dari petani di Rawa Pening. Jadi jangan bingung bila banyak pemasok eceng gondok seluas 2.670 hektar di daerah Banyu Biru selalu mengandalkan permintaan dari kapasitas produksi usaha Pak Slamet.

Laba Usaha Kerajinan Eceng Gondok untuk Masyarakat dan Kesejahteraannya

Omzet rata-rata yang dibukukan per bulan oleh lulusan SMA Madrasah Aliyyah bisa dikatakan sesuai untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan berbagai biaya yang sangat berguna bagi kegiatan sosial di masyarakat. “Namun, dari sisi keberlanjutan, penjualan produk kami ke luar negeri tidak selancar di dalam negeri. Apalagi pengiriman ke luar negeri jauh lebih mahal,” jelasnya.

Dari bisnis ini pula, kata Pak Slamet, bisa mempekerjakan anak-anak putus sekolah sebanyak 40% dari jumlah total tenaga kerja. Berdasarkan keuntungan yang ada, ia pun sangat bijaksana saat menggunakan jumlah yang telah diraih. Pos keuangan dibagi 3, yakni, pos untuk kebutuhan pribadi, pos untuk masyarakat sekitar, dan pos untuk karyawan yang masih sekolah.

Selanjutnya, ia juga rajin menyediakan lapangan pekerjaan baru untuk para tetangga. Bagi ibu-ibu rumah tangga memperoleh upah berdasarkan sistem borongan. Sementara golongan pemuda yang ikut serta diberikan porsi kerja dari pukul 08.00 pagi hingga 16.00 sore dengan upah per bulan sesuai UMR (Upah Minimum Regional).

Benar-benar sebuah eksekusi nyata dari entitas bisnis yang kokoh. Hal tersebut juga dibarengi oleh kemampuan pemasaran yang mumpuni.

“Selama ini saya cukup sering mengirim kerajinan ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Samarinda, Bali, dan Makassar. Paling tidak dua bulan sekali saya mengirimkan produk kami ke setiap kota,” jelasnya dengan nada optimis.

Selain itu, Pak Slamet juga semakin stabil untuk memasarkan hasil kreasi warga sekitarnya ke luar negeri, seperti: India dan Korea Selatan.

“Sekarang eceng gondok bisa dijadikan sebagai penghasilan,” tuturnya.

Ciri khas produk eceng gondoknya pun memiliki khasanah hasil tak terbantahkan. Dalam sehari, Slamet bisa mengirim produknya ke sejumlah daerah dengan menggunakan tiga truk.

Adapun hasil kreasi dari tiap karya yang dihasilkan sangatlah menakjubkan. Cukup anda melihat dari foto yang telah saya upload. Saya hanya bisa beranggapan bila miniatur kapal pinisi tersebut telah dibuat oleh seorang sarjana ahli di bidangnya.

Begitu pun juga untuk miniatur lokomotif, mobil, tank, becak, becak serta miniatur rumah adat. Tidak tertutup bagi anda yang suka bergaya, Syarina Production juga menyediakan tas jinjing, keranjang kecil untuk tempat botol minuman, dan banyak lagi. (**/msarih)