Konsumsi Mie di Indonesia Capai 12,64 Miliar Bungkus per Tahun, Mie Berbahan Lokal Perlu Pengembangan

Ini dia mie instan berbahan baku lokal produksi Bulog. (foto bulog)

Mie instan merupakan salah satu makanan favorit masyarakat di Indonesia. Apalagi ada beragam varian mie banyak tersedia di pasaran, seperti mie  goreng dan mie rebus, dengan aneka rasa yang gurih dan lezat.

Keunggulan produk pabrikan itu terdapat pada karakternya yang dapat disimpan dalam waktu lama dan hanya perlu pengolahan beberapa menit sebelum disantap, alias cepat saji.

Hasil survei Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2021, menunjukkan bahwa penduduk Indonesia sangat suka mie . Buktinya, dalam setahun tingkat konsumsi mie  mencapai 48 bungkus atau jika ditotal berjumlah 13,2 miliar bungkus Mie  dengan berat rata-rata 80 gram pada 2021.

Jika dipukul rata, pengeluaran tiap orang untuk membeli mie instan yaitu Rp2.286 per bungkus, maka untuk membeli 48 bungkus mie diperlukan dana Rp109.728 dalam setahun. Oleh sebab itu World Instant Noodles Association pada 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua terbanyak di dunia dalam hal konsumsi mie .

Jumlahnya sangat banyak, yaitu 12,64 miliar bungkus. Tapi ini masih kalah dari tingkat konsumsi mie masyarakat Tiongkok dan Hong Kong yang menyentuh 46,35 Mie liar bungkus atau terbanyak di dunia.

Terlepas dari urusan tingkat konsumsi itu, sampai hari ini bahan baku pembuatan mie yaitu gandum masih impor. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, impor gandum baik dalam bentuk bulir atau tepung (meslin) sepanjang 2019 saja sebesar 11,3 juta ton.

Melihat situasi itu, Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengoptimalkan riset pengembangan bahan lokal untuk kebutuhan ketahanan pangan. Penelitian ini juga mencakup diversifikasi produk pangan dan teknologi pengolahannya.

“Hal ini untuk meningkatkan nilai gizi dan keekonoMie san pangan serta sebagai upaya untuk mengurangi impor gandum,” kata Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari pada webinar betajuk Teknologi Proses Pangan di Jakarta, seperti dikutip dari indonesia.go.id, Minggu (14/1/2023).

Salah satu yang ingin dikembangkan adalah produk mie instan berbahan baku pangan lokal seperti jagung, sagu, dan singkong modifikasi atau mocaf. Mie sagu pada 2018 pernah dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bersama Perum Bulog. Memakai merek dagang Sagoo Mee, produk ini merupakan mie sagu pertama di Indonesia yang didistribusikan melalui Pasar Mitra Tani dan mendapat sambutan baik di pasaran.

Pemilihan bahan baku sagu dikarenakan Indonesia mempunyai 5,43 juta hektare lahan sagu, terluas di dunia.

Selain itu nilai plus sagu karena punya karakter mirip terigu, tapi bebas gluten sehingga lebih sehat dan bergizi karena kaya serat.

Menurut peneliti teknologi pangan fungsional nabati PRTPP BRIN R Cecep Erwan, mie dari gandum punya kandungan gluten tinggi dan membuat teksturnya elastis sehingga dapat diterima pasar.

Hal ini yang menjadi tantangan pihaknya untuk menciptakan produk sejenis dari bahan lokal dan diterima pasar. Apalagi jika menilik Sagoo Mee, diklaim bebas gluten, rendah GlyceMie c Index (GI), non-Genetyc Modified Organism (GMO), tinggi serat dan rasanya tidak berbeda jauh dengan mie instan berbahan gandum.

Cecep menyebutkan, telah mengembangkan bahan baku mie dari umbi suweg (Amorphophallus campanulatus) yang diolah menjadi pati suweg dengan teknik modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT).

Lewat metode modifikasi pati secara fisik dengan cara memberikan perlakuan panas di atas suhu gelatinisasi yaitu 80–120 derajat Celcius dengan kondisi kadar air terbatas atau di bawah 35 persen.

“Pati suweg diolah dengan teknik modifikasi HMT agar dapat mengubah sifat psikokimi, sifat fungsional, dan karakteristik pasta pati suweg sebagai bahan baku pembuatan mie,” ungkap Cecep.

Sementara itu, periset dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna (PRTTG) BRIN Satya Andika Putra menyampaikan, selama ini terdapat permasalahan dalam memproduksi minongandum.

Salah satu kendalanya adalah pada proses pengeringan, karena tepung nongandum memiliki karakteristik yang berbeda. Karenanya ia mengembangkan teknologi mesin pembuat mie nongandum.

Sejumlah inovasi dilakukan terhadap alat ini. Terutama pada tahap proses pengeringan yang dapat memancarkan inframerah. Setelah itu pada tahap penepungan umbi-umbian dan serealia.

Inovasi lainnya adalah mengembangkan mesin pencetakan mie agar proses produksi pangan berbahan lokal ini semakin mudah. (*/msa)