Mengenal Sejarah Kota Ranai Kabupaten Natuna (1)

Masyarakat Natuna merupakan masyarakat masyarakat Melayu yang bertamadun. Masyarakat Natuna, khususnya Kota Ranai dan memeiliki tatanan kehidupan budaya serta peradapan yang setara dengan masyarakat Melayu di kawasan lainnya.

Masyarakat Natuna adalah masyarakat yang mempunyai mimpi yang tidak kalah indahnya bila dibandingkan dengan mimpi masyarakat lain yang ada di bumi pertiwi ini.

Dari seorang sosok tokoh Wan Suhardi sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natunan, sejarah Natuna khususnya Kota Ranai dikupas melalui tulisannya berikut ini.

Impian ini mempunyai kecendrungan horizontal dan vertikal. Impian horizontal itu dianggap wajar dan sudah selayaknya dilakukan untuk mengejar segala ketertinggalan yang dimiliki hari ini.

Ini sebagai akibat dari kealpaan rezim masa lalu yang cendrung beranggapan bahwa Natuna tidak perlu diperhitungkan dari segala hal.

Sementara kecendrungan vertikal adalah suatu kecendrungan yang mengarah kepada ajaran agama, yaitu Islam.

Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang sebati dengan Islam. Oleh karena itu, segala gerak dan langkah masyarakat Natuna yang mayoritas adalah orang Melayu pastilah harus merujuk kepada ajaran agama Islam.

Menurut Syamsudin Othman, seorang budayawan asal Singapura dalam makalahnya berjudul “Tanah Melayu, Bumi Perca dan Tamasik; Mimpi Masa Depan Kita yang Sama”, mengatakan : Peradaban orang Melayu bukannya sebuah peradaban tanpa Tuhan yang dikembangkan oleh Kong Fu Tze”.

Jadi, melalui pemikiran yang berpaksikan agama Islam yang kental ini, maka masyarakat Natuna harus dapat melihat dirinya sendiri, bahwa ianya sedang berupaya menyelesaikan berbagai masalah, antara lain, kelemahan fisik dan infrastruktur, kelemahan mental dan spiritual untuk menghindari kejatuhan moral yang semakin menjadi-jadi.

Kini Kota Ranai sebagai ibu kota Kabupaten Natuna telah ditetapkan hari jadinya oleh Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Natuna, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. Peristiwa tersebut terjadi tahun 2009 yang lalu, melalui keputusan sebuah seminar akhir yang dilaksanakan di Hotel Caisar Ranai.

Sejak ditetapkan, baru tahun 2017 ini pemerintah berencana untuk memperingatinya. Peristiwa lama namun baru akan dikenang yaitu jatuh pada tanggal 27 Juli setiap tahunnya, dan tahun 2017 ini sudah merupakan hari jadi yang ke 146 tahun. Mengapa demikian, dan bagaimana cara menghitungnya.

Untuk mengetahuinya tentu ada baiknya kita telusuri kembali tulisan Dua orang peneliti itu adalah Dr. Nismawati Tarigan dan Dra. Anastasia Wiwik Swastiwi, MA dalam bukunya berjudul : “Hari Jadi Kota Rana”. (*/amr/bersambung)