Penulis: LIFIA NINGSIH, Mahasiswa Program Studi Sosiologi di STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang
Kasus dugaan suap yang melibatkan Ronald Tannur mengguncang publik Indonesia.
Skandal ini bukan hanya mencerminkan masalah individu, tetapi mengungkap sisi gelap dalam sistem peradilan di Indonesia.
Ronald Tannur, yang diduga melakukan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, diduga memengaruhi vonis bebas dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti, kekasihnya.
Kasus ini menyoroti dua isu utama: dugaan penganiayaan berujung kematian dan dugaan suap untuk meringankan hukuman, dua sisi permasalahan yang menunjukkan kerentanan hukum Indonesia terhadap praktik mafia peradilan.
Terdapat bukti kuat yang mengindikasikan bahwa kasus ini telah melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Vonis bebas yang kontroversial menimbulkan gelombang kekecewaan di masyarakat dan mendorong tuntutan akan reformasi hukum.
Masyarakat kini mendesak adanya sistem peradilan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Kejadian ini pun memperlihatkan pentingnya reformasi untuk memperkuat integritas lembaga peradilan.
Edward Tannur, ayah dari Ronald dan anggota DPR dari Fraksi PKB, memicu spekulasi terkait potensi pengaruhnya terhadap kasus ini. Kehadirannya dalam konferensi pers bersama Lisa Rahmat, pengacara Ronald, turut mengundang berbagai dugaan, meskipun belum ada bukti konkret yang mengaitkannya dengan upaya manipulasi proses hukum.
Kendati demikian, statusnya sebagai pejabat publik mengangkat diskusi tentang kemungkinan konflik kepentingan dan dampak politik terhadap keadilan hukum.
Selain itu, peran Lisa Rahmat sebagai pengacara Ronald yang kini berstatus tersangka pemberi suap, serta tiga hakim yang terlibat โ Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo โ semakin memperkeruh situasi. Dokumen transaksi yang ditemukan oleh tim penyelidik, disertai bukti dugaan suap yang mengaitkan Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung, sebagai perantara, menunjukkan kerentanan sistem terhadap intervensi pihak ketiga dalam proses peradilan.
Kasus ini menimbulkan polarisasi tajam di masyarakat. Di satu sisi, ada yang mengutuk keputusan bebas untuk Ronald sebagai bukti lemahnya integritas peradilan. Di sisi lain, sejumlah orang mendukung Ronald, menganggapnya tidak bersalah dan meyakini proses hukum telah berjalan semestinya. Polarisasi ini bisa berdampak negatif terhadap upaya penegakan hukum yang kredibel. Ketidakpercayaan yang mengakar bisa menjadi penghalang reformasi yang mendasar dan diperlukan dalam lembaga peradilan.
Sebagai langkah maju, kasus ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan korupsi di lingkungan peradilan. Diperlukan peningkatan transparansi dan integritas, seperti pelatihan anti-korupsi bagi hakim dan staf, serta pengetatan sanksi bagi pelaku korupsi. Dengan demikian, sistem peradilan bisa meraih kembali kepercayaan publik yang kini kian rapuh. (***)