Mengenal Anak, Membentuk Karakter Anak itu Sendiri

Penulis: Ryan Sugiarto, Seorang Penulis Buku (Perang Tubuh, Memoar Seorang Difabel)

Dunia anak adalah dunia imajinasi. Dunia bermain, dan kegembiraan. Dunia yang penuh warna, dengan bahasa yang berbeda dari bahasa orang dewasa.

Dunia anak adalah dunia yang diselimuti banyak pertanyaan filosofis, yang justru tidak mereka sadari.  Oleh karena itu, tidak salah jika Novelis kaliber Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie, mengatakan anak-anak adalah filsuf.

   Anak-anak selalu melemparkan pertanyaan yang berawal dari rasa terpukau terhadap dunia dan kehidupan. Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak lahir. Bahkan bayipun menengok ke sekeliling dengan kekaguman, padahal dia belum bisa berpikir.

“Manusia sebenarnya terlahir sebagai filsuf, kita hanya harus menjaga rasa penasaran itu.” Demikian ucap Gaarder.

   Tetapi sayang, tidak semua orang dewasa memahami anak  dengan cara pandang seperti Gaarder memaknai anak-anak. Orang dewasa, dan orang tua pada umumnya, melihat anak adalah miliknya.

Sebagai objek yang dengan mudah dibentuk menjadi apa, sesuai kemauan orang dewasa (orang tua). Orang dewasa seolah tahu segalanya, dan merasa paling tahu kebutuhan anaknya.

Maka tidak jarang orang tua mendidik, menyekolahkan, dan memperlakukan anak sebagaimana keinginannya, agar anak kelak menjadi apa yang dicita-citakan orang tuanya.

Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Disemua lini hidup anak. Di layar televisi, mereka dibuat menyanyi seperti para biduan komersial bernyanyi, berkhotbah seperti para kiyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.

Model mereka bukan datang dari imajinasi sendiri, tetapi mereka dibentuk. Mereka dikepung, di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, anak-anak harus mengikuti apa yang dipetuahkan.

Si bocah mesti menuruti tatanan simbol-simbol yang dijadikan sendi kehidupan ibu-bapa.

   Orang dewasa selalu merasa benar ketika berhadapan dengan anak-anak. Maka yang terjadi selalu komunikasi searah, anak tidak diberi kesempatan untuk keinginannya sendiri.

Dalam kebudayaan Asia, anak-anak di Asia tidak pernah didorong untuk mengekspresikan pendapat atau berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan (ditingkat apa saja).

Anak-anak secara umum dianggap sebagai harta orangtua, orang yang harus dihormati dipatuhi.

Secara tradisional anak-anak harus menghormati dan mematuhi orangtuanya. Anak-anak dianggap sebagai orang yang tidak berdaya dan tergantung pada orang dewasa.

   Maka sungguh penting memahami dunia anak sebagai dunia yang luarbiasa. Bukan sebagai dunia ketergantungan kepada orang dewasa. Orang dewasa perlu memahami anak-anak sebagai anak-anak. Bukan dengan pikran orang dewasa.

Hal ini juga berlaku pula pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Sebab semua anak itu istimewa. Orang dewasa, orang tua, dan guru hanya perlu berperan sebagai pencari bakat yang hebat.

   Untuk menjadi penemu bakat yang hebat orang dewasa harus menggunakan bahasa anak. Bahasa anak adalah bahasa kasih dan kelembutan. Bahasa kemengertian. Bukan bahasa kekerasan, bentakan, atau olokan. Sebab bahasa pada mula-mula akan menunjukkan bagaimana ia akan menjadi manusia dewasa.

Dengan indah Dorothy Law Nolt, seorang konselor keluarga  yang sekaligus penulis mengatakan, bBila seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum.

Bila seorang anak hidup dengan permusuhan, ia akan belajar kekerasan. Bila seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu.

Bila seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Bila seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri.

Bila seorang anak hidup dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan.

Bila seorang anak hidup dengan ketenteraman, ia belajar tentang iman. Bila seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri.

Bila seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia. 

   Lewat itu semua, Nolt sadar bahwa anak akan tumbuh sesuai dengan bahasa yang digunakan orang dewasa di sekitarnya. Setiap anak mempunyai  cara menunjukkan kelebihannya sendiri.

Orang dewasa sudah semestinya paham dan memahami bahasa anak, bukan sebaliknya anak dituntut memahami bahasa orang dewasa.

Dengan begitu potensi yang ada dalam diri anak bisa dimunculkan. Sebab setiap anak melahirkan potensinya sendiri. (***)